0

Kepala Boleh Sama, Pikiran Boleh Berbeda

Di dalam sebuah diskusi, kita sering mendapat pendapat seperti ini: “Idenya sudah selaras dengan strategi perusahaan saat ini dan dapat memperbaiki posisi bersaing kita, tapi saya tidak yakin bisa diimplementasikan karena biaya investasinya sangat tinggi. Pelanggan juga belum tentu suka”.

Menurut pendekatan Six Thinking Hats yang dikembangkan oleh Edward D. Bono, pendapat ini bisa dipecah-pecah dan didiskusikan secara mendalam dengan menggunakan enam jenis warna topi yaitu:

  1. Topi Biru: Mulai dengan pendekatan dan proses;
  2. Topi Putih: Mereview fakta-fakta
  3. Topi Hijau: Menghasilkan ide-ide baru
  4. Topi Kuning: Fokus pada manfaat
  5. Topi Merah: Mempertimbangkan emosi dari ide-ide
  6. Topi Hitam: Memberikan pemikiran kritis atas manfaat dan ide-ide baru

Jadi menurut pendekatan Six Thinking Hats, pendapat tadi bisa dipecah-pecah ke dalam enam warna topi sebagai berikut:

  • Topi Putih: “selaras dengan strategi perusahaan” (fakta)
  • Topi Kuning: “memperbaiki posisi bersaing” (manfaat)
  • Topi Hitam: “biaya investasinya sangat tinggi” (mahal)
  • Topi Merah: “belum tentu suka” (perasaan)

Di dalam proses problem solving, masing-masing topi memainkan peranan yang berbeda-beda.

  1. Topi Biru: sebagai SUTRADARA. Bertugas mengatur proses semua topi-topi lain dan memastikan solusi untuk masalah yang dihadapi. Ia mengatur lalu lintas ide dan menyusun rencana implementasi.
  2. Topi Putih: sebagai DETEKTIF. Bertugas mendalami fakta-fakta secara obyektif. Termasuk mengumpulkan data dan informasi yang relevan. Lebih mempercayai data daripada asumsi dan opini.
  3. Topi Hijau: sebagai BIBIT. bertugas mengeksplorasi semua sudut pandang dan ide-ide kreatif yang dapat menuju pada terobosan baru. Cenderung tidak mengikuti pola pikir tradisional dan tidak ada batasan ide. Kadang ide yang dihasilkan terdengar aneh dan tidak masuk akal.
  4. Topi Kuning: sebagai MATAHARI. Bertugas mengambil semua ide yang muncul dan membangun jalan untuk mengimplementasikan semua ide tersebut. Selalu mencari kesempatan dan optimis terhadap semua kemungkinan.
  5. Topi Merah: sebagai HATI. Bertugas mencari jawaban dengan menggunakan perasaan dan intuisi dari masalah yang dihadapi. Oleh karena itu bersifat subyektif dan tidak membutuhkan pertimbangan logis.
  6. Topi Hitam: sebagai MESIN PENUAI. Bertugas mencari kelemahan, bahaya, dan risiko ketika implementasi ide. Tujuannya adalah menguji secara kritis dan mempertanyakan semua ide yang disampaikan oleh topi-topi lain. Cenderung bersikap skeptis dan mempertimbangkan banyak hal.

Pendekatan Six Thinking Hats bisa dipakai sebagai teknis problem solving secara kolaboratif untuk menghasilkan inovasi.

Referensi:

0

Memotret Budaya Perusahaan

Ketika organisasi Anda ingin merubah budayanya, ada baiknya Anda memahami dulu budaya organisasi Anda saat ini seperti apa.

Untuk memahami jenis-jenis budaya organisasi, Anda bisa menggunakan Competing Values Framework (CVF) yang dikembangkan oleh Prof. Kim Cameron dan Robert Quinn dari Universitas Michigan. Dari framework ini, mereka mengembangkan sebuah tool untuk memotret budaya organisasi yang disebut Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI).

CVF dan OCAI dapat dengan cepat memberikan gambaran apa yang orang-orang dalam organisasi nilai berharga dan bagaimana mereka mengatur aktivitas-aktivitas organisasi mereka.

Menurut CVF dan OCAI, ada 4 jenis budaya organisasi yaitu:

  1. Adhocracy Culture: dinamis dan kewirausahaan –> CREATE
  2. Clan Culture: berorientasi orang dan bersahabat –> COLLABORATE
  3. Hierarchy Culture: berorientasi proses dan terstruktur –> CONTROL
  4. Market Culture: berorientasi hasil dan kompetitif –> COMPETE

Penjelasan detail mengenai ciri-ciri untuk setiap budaya bisa dibaca di link pada referensi. Intinya, di dalam setiap organisasi, keempat jenis budaya ini ada. Tergantung apa yang menjadi budaya dominan di organisasi tersebut.

Aplikasi CVF dan OCAI bisa dilihat pada kasus perusahaan Apple. Transformasi yang terjadi di Apple menunjukkan bagaimana perusahaan ini merubah-rubah budaya dominan-nya. Pada masa Steve Jobs dan Steve Wozniak, budaya yang terbentuk adalah budaya CREATE. Setelah sukses bertahun-tahun, mereka membentuk tim Macintosh dan membuat Mac, budaya yang terbentuk adalah budaya COLLABORATE. Kesuksesan membuat Apple berkembang pesat, sehingga budaya CONTROL mulai terbentuk. Ketika John Scully masuk, Apple mengalami stagnasi dalam budaya COMPETE. Sampai akhirnya Steve Jobs masuk kembali dan membangun kembali budaya CREATE. Apa yang menjadi budaya dominan Apple sekarang?

Referensi:

0

Creative Problem Solving

Alex Osborn, pendiri “Creative Education Foundation”, pertama kali mengembangkan kerangka kerja Creative Problem Solving pada tahun 1940-an. Sampai saat ini kerangka kerja ini terus dikembangkan dan masih terus digunakan.

Ada empat langkah dalam proses memecahkan masalah secara kreatif yaitu:

  1. Clarify
  2. Ideate
  3. Develop
  4. Implement.


Sumber: Climer Consulting

Tahap pertama adalah CLARIFY. Tahap ini terdiri dari tiga proses.

Proses pertama adalah “Eksplorasi Visi”. Pada proses ini kita mengidentifikasi tujuan yang ingin dicapai dan tantangan yang ada. Upaya mencari akar permasalahan termasuk di dalam proses ini.

Proses kedua adalah “Pengumpulan Data”. Kumpulkan data terkait dan bangun pemahaman yang mendalam terhadap permasalahan.

Proses ketiga adalah “Menyusun Pertanyaan”. Ketika Anda mendalami permasalahan, cobalah definsikan masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan. Gunakan pertanyaan terbuka untuk memudahkan pencarian solusinya.

Tahap kedua adalah IDEATE. Proses dalam tahap kedua ini adalah “Eksplorasi Ide”. Di proses inilah kita melakukan Divergent Thinking. Pada proses ini kita berusaha sebanyak mungkin menghasilkan ide-ide solusi.

Jangan batasi ide-ide yang muncul. Bisa saja ide yang diajukan terdengar aneh dan tidak masuk akal. Biarkan saja!

Teknik yang bisa dipakai dalam proses ini adalah Brainstorming, MindMap, dan SCAMPER.

Tahap yang ketiga adalah DEVELOP. Prosesnya adalah “Perumusan Solusi”.

Pada proses ini kita menggunakan Convergent Thinking. Pada proses ini Anda boleh melakukan penilaian terhadap ide-ide solusi yang tersedia.

Lakukan analisa apakah ide solusi bisa menjawab pertanyaan, kemudian apakah ide solusi tersebut bisa diimplementasikan.

Salah satu teknik yang bisa digunakan pada proses ini adalah Six Thinking Hats. Pembahasan Six Thinking Hats ada di bagian keempat dari modul ini.

Tahap yang keempat adalah IMPLEMENT. Pada tahap ini, kita “Menyusun Rencana”.

Setelah kita menentukan solusi terbaik, sekaranglah waktunya untuk menyusun rencana implementasi ide solusi tersebut.

Pada proses ini kita mengidentifikasi sumber daya apa saja yang dibutuhkan. Kemudian kita perlu untuk mengkomunikasikan rencana implementasi ini kepada pihak-pihak terkait agar diperoleh pemahaman yang sama.

Referensi:

0

Model Pendekatan Problem Solving

Cara menyelesaikan masalah tergantung pada jenis masalahnya. Secara umum ada 2 pendekatan penyelesaian masalah yaitu Analitik dan Kreatif.

Perhatikan gambar berikut:

Sumber: Developing Management Skill 8th Edition, Prentice Hall

Ketika Anda menemui masalah yang jelas, hasilnya bisa diprediksi, ada cukup banyak informasi, dan hubungan sebab-akibatnya jelas, maka teknik Analytical Problem-Solving merupakan pendekatan yang paling cocok.

Sebaliknya, jika masalahnya belum jelas, informasi masih simpang siur dan terbatas, dan alternatif solusi tidak ada – Anda harus menggunakan teknik Creative Problem-Solving untuk memperjelas definisi masalah dan menghasilkan sebanyak mungkin alternatif solusi.

Referensi:
– David A. Whetten and Kim S. Cameron (2011), Developing Management Skill 8th Edition, Prentice Hall

0

Kunci Berpikir Kreatif

Alex Osborn, penulis “Applied Imagination” (1953) mencatat dua jenis pemikiran yang penting untuk bisa menjadi kreatif yaitu Divergent Thinking dan Convergent Thinking. Apa bedanya?

Divergent Thinking adalah proses untuk menghasilkan sebanyak mungkin potensi solusi.

Sumber: Prodigy Game

Sedangkan Convergent Thinking adalah proses mengevaluasi seluruh potensi solusi kemudian memilih potensi solusi yang terbaik.

Sumber: Prodigy Game

Di dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya kita sering menggunakan kedua jenis pemikiran ini, walaupun tanpa sadar. Masalahnya kita sering menggunakannya secara bersamaan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan keputusan.

Sumber: Prodigy Game

Kunci untuk berpikir kreatif adalah menggunakan kedua pemikiran ini secara bergantian. Ketika kita sedang melakukan Divergent Thinking, gali dan hasilkan ide sebanyak-banyaknya. Jangan menghakimi dan memberi komentar. Biarkan apa adanya. Malahan, dorong anggota tim untuk menghasilkan ide segila mungkin, seaneh mungkin, seunik mungkin. Ketika kita melakukan Convergent Thinking, ide-ide yang dihasilkan oleh Divergent Thinking boleh dikritisi dan diuji habis-habisan.

Sumber: Cucumber.io

Contoh Divergent Thinking: Anda sedang merencanakan perjalanan ke Bandung. Moda transportasi apa yang akan Anda pilih?

Contoh Convergent Thinking: Anda sedang merencanakan perjalanan ke Bandung. Anda butuh sampai di Bandung dengan cepat. Apakah Anda akan menggunakan mobil pribadi, kereta, atau pesawat?

kalau kita perhatikan dari contoh di atas, keduanya membahas masalah yang sama, akan tetapi pertanyaan yang digunakan berbeda. Hasilnya, tentu saja berbeda.

Ilustrasi lain tentang Divergent vs Convergent Thinking digambarkan sbb:

Sumber: Psycologenie

Referensi:

0

What’s Going On?

I watched this NatGeo video and thought you would find it interesting.

  • Membahas tentang awareness kita terhadap lingkungan sekitar
  • Ada game mirip “Monkey Bisnis” àMengamati perubahan gambar (ada 10 perubahan)
  • Perubahan yang lambat bisa lolos dari pengamatan otak –> perubahan harus dilakukan dengan cepat
  • Ada game menyebutkan kembali barang2 yang hilang di dalam gambar à menggunakan “jembatan keledai” atau “mnemonic memory” (ada 2 kali)
  • Berkaitan juga dengan spacial awareness à ada game menarik utk menunjuk hidung dan jari secara bergantian dengan mata tertutup (this will be fun). Mata memiliki fungsi mengirimkan informasi spasial ke otak. Jika mata ditutup, otak kehilangan arah untuk menentukan letak jari

Referensi:

  • Brain Games Season 3 Episode 5
0

Merancang Pembelajaran yang Efektif

Ada tantangan yang besar dalam membuat pengalaman pembelajaran yang efektif.  Terlepas dari bagaimana sebuah instruksi pembelajaran dijalankan (apakah melalui kelas atau e-learning), pemahaman mengenai bagaimana orang belajar menjadi sangat penting.

Pengalaman Julie dalam merancang pengalaman pembelajaran membuktikan bahwa pendekatan instruksional tradisional (kuliah?) sudah tidak lagi efektif. Beberapa insight yang didapat antara lain: ada cara-cara lain untuk membangun long-term retention daripada pengulangan, kata-kata adalah pengganti yang buruk untuk peragaan dan contoh-contoh. Jangan meremehkan kekuatan konteks.

Rancangan instruksional tradisional lebih menekankan pada content – bertujuan memberikan kelengkapan dan keakurasian, sehingga perhatian terhadap pengalaman, insight dan motivasi tidak masuk ke dalam pembahasan. Acara “Are you smarter than the fifth grade?” cukup membuktikan bahwa model pembelajaran tradisional tidak cukup baik.

Bayangkan salah satu pengalaman pembelajaran Anda yang terbaik yang pernah Anda ikuti kemudian jawab pertanyaan berikut: apa yang membuat pengalaman pembelajaran itu menjadi yang terbaik:

  1. Materinya
  2. Pengajarnya
  3. Pesertanya
  4. Tempatnya

Apabila Anda menjawab “2”, maka Anda termasuk dalam sebagian besar responden yang disurvei.  Sedikit responden yang menjawab “1”, tapi sebagian besar menjawab “2”. Hal ini membuktikan bahwa pengalaman pembelajaran yang terbaik bukanlah masalah isi/materi, tapi bagaimana isi/materi itu disampaikan. Sebuah materi pembelajaran yang sama, bisa menjadi menarik/tidak menarik, tergantung dari bagaimana materi tersebut disampaikan.

Satu hal lain, apa yang membuat sebuah pengalaman pembelajaran menjadi efektif? Suatu pengalaman pembelajaran terbaik, bisa saja bukan pengalaman pembelajaran yang efektif. Suatu pengalaman pembelajaran menjadi efektif apabila si pembelajar mau melakukan hal yang berbeda sesudah keluar dari kelas.

Tujuan dari suatu rancangan pembelajaran yang efektif adalah memberikan pengalaman pembelajaran bagi pembelajar dengan suatu kemampuan baru atau peningkatan kemampuan yang dapat mereka terapkan (manfaatkan/pakai) di dunia nyata, yang akan membantu mereka melakukan hal yang mereka perlu lakukan atau ingin lakukan.

Referensi:

  • Julie Dirksen. “Design How People Learn”.
0

Kompetensi ASN

Apa itu ASN? Apa bedanya dengan PNS?

ASN adalah singkatan dari “Aparatur Sipil Negara”

Menurut UU no 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 6 dinyatakan bahwa Pegawai ASN terdiri atas: 1. PNS; dan b. PPPK. Jadi jelas bawah setiap PNS adalah ASN; Namun setiap ASN belum tentu PNS. Bisa jadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PNS merupakan pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap dan memiliki nomor induk pegawai (NIP).

Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 38 Tahun 2017, ada 3 golongan jabatan yaitu 1. Jabatan Pimpinan Tinggi; 2. Jabatan Fungsional; dan 3. Jabatan Administrasi.

Untuk Jabatan Pimpinan Tinggi dibagi lagi menjadi:

  • Pimpinan Tinggi Utama – standar kompetensi Level 5
  • Pimpinan Tinggi Madya – standar kompetensi Level 5
  • Pimpinan Tinggi Pratama – standar kompetensi Level 4

Untuk Jabatan Fungsional dibagi lagi menjadi:

  • Fungsional Utama – standar kompetensi Level 4 & 5
  • Fungsional Madya – standar kompetensi Level 4
  • Fungsional Muda – standar kompetensi Level 3
  • Fungsional Pertama – standar kompetensi Level 2
  • Fungsional Keterampilan – standar kompetensi Level 3
  • Fungsional Mahir – standar kompetensi Level 2
  • Fungsional Terampil – standar kompetensi Level 2 & 1
  • Fungsional Pemula – standar kompetensi Level 1

Untuk Jabatan Administrasi dibagi lagi menjadi:

  • Adminstrator – standar kompetensi Level 3
  • Pengawas – standar kompetensi Level 2
  • Pelaksana – standar kompetensi Level 1

Standar kompetensi untuk ASN ada 3 jenis yaitu: 1. Kompetensi Teknis; 2. Kompetensi Managerial; 3. Kompetensi Sosial Kultural. Sedangkan tingkatan kompetensinya dibagi 5 tingkat yaitu: 1. Paham; 2. Basic; 3. Menengah (Intermediate); 4. Mumpuni (Advanced); 5. Ahli (Expert). Untuk masing-masing tingkatan ini ada kriterianya.

Terkait dengan kompetensi managerial, ada 8 kompetensi yaitu:

  1. Integritas
  2. Kerjasama
  3. Komunikasi
  4. Orientasi pada Hasil
  5. Pelayanan Publik
  6. Pengembangan Diri dan Orang Lain
  7. Mengelola Perubahan
  8. Pengambilan Keputusan

Di dalam PERMEN ini dilampirkan juga kamus kompetensi nya yang terdiri atas informasi: kode kompetensi, nama kompetensi, definisi, deskripsi level kompetensi 1 sd 5 beserta indikator perilaku nya.

Dilampirkan juga form standar kompetensi untuk semua jabatan.

Referensi:

  • Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 38 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara
0

Mencari Lead Indicator

Key Performance Indicators biasanya dibagi menjadi dua jenis: Lag indicator (hasil) dan Lead indicator (proses). Lag indicator lebih mudah ditentukan daripada Lead indicator. Padahal antara Lag dan Lead indicator seharusnya memiliki hubungan yang sangat erat. Misalnya, Lag indicator-nya “Staff Turnover”. Oleh karena itu Lead indicator-nya adalah faktor yang berpengaruh terhadap “Staff Turnover”. Lead indicatornya bisa “Employee Engagement Score” atau “Tingkat Kepuasan Karyawan Baru”. Dua ukuran Lead ini bisa memprediksi “Staff Turnover”.

Ada 3 cara menentukan Lead indicator:

  1. Riset faktor-faktor yang memiliki pengaruh terhadap Lag indicator. Bisa juga bertanya ke orang yang sudah mencoba. Selain itu bisa baca artikel terkait Lag indicator. Jika kita ingin memprediksi “Staff Turnover”, sebaiknya baca artikel HR terkait “Staff Turnover”.
  2. Cek proses bisnis. Gambarkan proses bisnis terkait Lag indicator menggunakan flowchart. Perhatikan proses-proses terkait sebelum mencapai Lag indicator. Tentukan 1-2 proses yang paling berpengaruh terhadap pencapaian Lag indicator. Tapi hati-hati, terkadang Lead indicator ada di proses bisnis yang lain (sebelum proses yang terkait Lag indicator). Misalnya Jika Lag indicator nya “Sales Revenue”, maka kita perlu memeriksa flowchart proses marketing dan sales. Jika di proses marketing, dinilai content iklan memiliki pengaruh kuat, maka dua ukuran yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi Lead adalah “Average Visit Time on Content Page” atau “Newsletter Open Rate”. Mungkin faktor delivery layanan juga bisa menjadi faktor yang berpengaruh terhadap “Sales Revenue”. Bayangkan jika layanan Anda di deliver tidak sesuai janji. Oleh karena itu, “Delivery Index” juga bisa jadi salah satu Lead.
  3. Pilih Lead indicator yang paling kuat. Jika kita sudah menemukan beberapa calon Lead indicator, kita jadi susah menentukan Lead indicator mana yang pas. Cara paling mudah adalah dengan “trial and error”. Butuh latihan dan pengalaman untuk benar-benar bisa menemukan Lead indicator yang tepat.

Referensi:

0

Learning Objectives vs Learning Outcomes

Bologna Agreement tahun 1999 bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pendidikan tinggi di Eropa. Salah satu usulan perbaikannya adalah menggunakan learning outcome untuk semua modul pengajaran.

Pendekatan pengajaran tradisional biasanya menggunakan pendekatan “teacher-centered”. Pendekatan yang diusulkan dalam Bologna Agreement adalah “student-centered”.

Pendekatan tradisional (teacher-centered) dalam merancang modul pengajaran biasanya dimulai dengan materi pengajaran. Guru/dosen yang menentukan materi apa yang akan diajarkan dan menentukan cara evaluasinya berdasarkan kemampuan pembelajar untuk menyerap materi tersebut.

Pendekatan student-centered dalam perancangan modul dimulai dengan apa yang diharapkan mampu diketahui, dipahami dan dilakukan oleh pembelajar. Baru kemudian menentukan materi-materi apa yang diajarkan.

Learning outcomes didefinisikan sebagai hal-hal yang harus diketahui, dipahami dan dipraktikkan ketika telah menyelesaikan proses pembelajaran (ECTS, 2005).

Beberapa definisi lain tentang Learning Outcomes:

  • Learning outcomes are statements of what is expected that the student will be able to do as a result of a learning activity.
    (Jenkins and Unwin, 2001)
  • Learning outcomes are statements that specify what learners will know or be able to do as a result of a learning activity. Outcomes are usually expressed as knowledge, skills or attitudes. (American Association of Law Libraries, URL 3)
  • Learning outcomes are an explicit description of what a learner
    should know, understand and be able to do as a result of learning.
    (Bingham, 1999)
  • Learning outcomes are statements of what a learner is expected to
    know, understand and/or be able to demonstrate after completion
    of a process of learning. (ECTS Users’ Guide, 2005)
  • Learning outcomes are explicit statements of what we
    want our students to know, understand or be able to do
    as a result of completing our courses. (University of New South Wales, Australia, URL 4)
  • Learning outcome: a statement of what a learner is expected to
    know, understand and/or be able to demonstrate at the end of a
    period of learning. (Gosling and Moon, 2001)
  • A learning outcome is a statement of what the learner is expected
    to know, understand and/or be able to do at the end of a period of
    learning. (Donnelly and Fitzmaurice, 2005)
  • Learning outcomes describe what students are able to demonstrate in terms of knowledge, skills and attitudes upon completion of a program. (Quality Enhancement Committee, Texas University, URL 5)

Pendekatan outcome ini sebenarnya bukan barang baru. Dulu tahun 60an sd 70an dikenal sebagai pendekatan “behavioral objectives”. Salah satu pelopornya adalah Robert Mager (1975). Ia menggunakan istilah “instructional objectives” untuk menentukan jenis pembelajaran yang akan dilakukan dan bagaimana pembelajaran tersebut akan dievaluasi.

Pertanyaan mendasarnya bukan ” “what did you do to obtain your degree?” akan tetapi menjadi “what can you do now that you have obtained your degree?”.

Penulisan Learning Outcomes bisa menggunakan Taksonomi Bloom, yang terdiri dari 3 bagian yaitu 1. Cognitive (ada enam tingkat: knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis. dan evaluation), 2. Affective (sikap, perasaaan, nilai-nilai), dan 3. Psychomotoric (ketrampilan fisik).

Penulisan Learning Outcome diawali dengan action verb yang diikuti dengan obyek dari kata kerja tersebut. kalimat sebaiknya dibuat singkat dan ringkas untuk menjaga agar tetap jelas.

Referensi:
– Writing and Using Learning Outcomes: A Practical Guide (ebook)